Kita bisa mengukur kesehatan demokrasi sebuah bangsa dengan melihat kebebasan warganya dalam menyampaikan pendapat. Sayangnya, dari hasil Survei Nasional 2022, lebih dari 60% masyarakat Indonesia merasa tidak bebas dan bahkan takut untuk mengekspresikan pendapat mereka. Saat ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah UU yang mengatur aktivitas dan informasi online, platform media sosial, serta hukum kejahatan siber.
Akhir-akhir ini, UU ITE sering dipakai oleh pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengkriminalisasi, atau mengancam untuk mengkriminalisasi, beberapa opini atau kritikan terhadap mereka dan/atau pemerintah.
Sejak tahun 2021, usulan untuk merevisi UU ITE sudah sering dibahas, namun rancangan revisinya belum ada sampai sekarang. Nah, penghapusan pasal karet tadi jadi salah satu faktor penting dari rencana revisi UU ITE ini.
Sebenernya sejak Juni 2021 lalu, pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sudah menyiapkan buku pedoman untuk mengartikan UU ITE. Tujuannya tentu saja supaya bisa mencegah penerapan pasal karet. Namun, upaya ini dinilai belum cukup oleh masyarakat sipil, dan hingga saat ini buku pedoman tersebut belum diterbitkan.
Kebebasan menyampaikan pendapat juga menjadi isu dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Memang benar, RKUHP telah memberi pengecualian bahwa informasi yang berkepentingan publik tidak lagi termasuk dalam pencemaran nama baik. Tapi, pasal di RKUHP tetap berpotensi untuk disalahgunakan dan membatasi kebebasan berpendapat melalui pasal-pasal yang berkaitan dengan mengkritik presiden (pasal 218) ataupun institusi pemerintah (pasal 240).