Pada September 2022, Presiden Jokowi menetapkan peningkatan target iklim untuk Indonesia, loh. Kalau pakai skenario kemampuan kita sendiri, emisi yang dikurangi bisa sebesar 31,8%. Kalau ada bantuan internasional, target pengurangannya bisa hingga 43,2%. Sejalan dengan ini, pemerintah meningkatkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor energi hingga 358 MTCO2e (metrik ton karbon dioksida ekuivalen).
Nah, salah satu cara untuk mencapai target itu adalah dengan mengganti energi berbasis fosil (batu bara dan BBM) ke energi baru dan terbarukan (surya, air, dll.). Saat ini, pemerintah baru memakai 0,3%, atau sekitar 12,4 GW, dari total potensi yang kita punya. Sedangkan target nasional tahun 2025 itu sebesar 23% campuran energi baru terbarukan.
Saat ini, pemerintah lagi mendorong Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET). Tapi, rancangan tersebut banyak yang kurang setuju nih. Yang tadinya mendorong energi terbarukan seperti tenaga surya atau air, RUU EB-ET malah memasukan produk turunan batubara yang justru bisa menghambat penurunan emisi seperti batubara tergaskan, batubara tercairkan, dan gas metana batubara sebagai sumber energi 'baru'.
Di bulan November 2022, Komisi VII DPR, yang memimpin pengesahan RUU ini, sudah dapat rancangan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari Kementerian ESDM dan lagi menunggu penyerahan DIM final dari Sekretariat Negara.
Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, mengatakan salah satu hal yang jadi tantangan pengesahan RUU ini adalah politik fosil, di mana banyak tokoh politik besar di Indonesia yang punya bisnis komoditas batu bara. Tantangan lainnya adalah usulan pemerintah untuk masukin ketentuan power wheeling, yaitu pemakaian bersama jaringan tenaga listrik yang memperbolehkan swasta untuk menjual listrik ke masyarakat. Power wheeling ini dianggap melanggar konstitusi karena penyediaan listrik berdampak terhadap kebutuhan hidup banyak orang, makanya harus dikuasai sama negara.