Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi tuh memang hal yang masih tabu di masyarakat kita. Tapi bukan berarti hal ini enggak penting untuk dipelajari demi kesehatan kita semua. Soalnya, kesehatan seksual dan reproduksi yang baik bisa memberi peluang untuk ningkatin kualitas hidup dan potensi anak muda, terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan, kekerasan seksual, dan penyakit serius seperti HIV/AIDS.
Di Indonesia, masalah kesehatan reproduksi ini diatur oleh Undang-Undang (UU) Kesehatan (UU No. 36/2009). Menurut UU ini, pemerintah dan masyarakat punya tanggung jawab berbagi informasi dan mendidik orang-orang tentang kesehatan reproduksi. Tujuannya supaya kita bisa mempunyai generasi yang sehat dan pertumbuhan populasi yang stabil.
Tapi, adanya UU No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Ponografi) malah membuat penyebaran informasi tentang kesehatan reproduksi jadi terhambat. UU Pornografi menganggap "sketsa, ilustrasi, suara bunyi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainnya yang memuat kecabulan" sebagai materi pornografi. Artinya, materi edukasi kesehatan seksual bisa saja dianggap sebagai materi ponografi, jadi malah engga bisa disebarkan.
Sementara itu, ada juga UU No. 1 Tahun 2023 tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang membatasi siapa saja yang boleh memberi tau tentang alat kontrasepsi ke anak dan remaja. Di sini, peran masyarakat jadi terbatas karena hanya petugas berwenang yang boleh memberi pendidikan kesehatan reproduksi.
Nah, pertanyaannya sekarang: Gimana caranya pemerintah bisa tetap memberi akses pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi – yang emang hak asasi setiap orang Indonesia – kalau ada undang-undang yang malah menghambat penyebarannya?